Kosakata Tan Malaka
Ahmad Sahidah*, Majalah Tempo, 11 Apr 2016
Perkembangan khazanah lema bahasa Indonesia sangat pesat. Setelah ditetapkan sebagai bahasa kesatuan dalam ikrar Sumpah Pemuda, ia telah mengikat rakyat Negeri Khatulistiwa dalam satu bahasa persatuan. Namun tidak mudah menjadikannya alat komunikasi, baik lisan maupun tulisan, agar bisa menangkap gerak perkembangan zaman. Betapapun bahasa ini luwes, ia juga perlu menimbang sejarah linguistiknya agar tidak dijarah oleh sikap malas pengguna. Dengan membaca kembali karya-karya awal Tan Malaka, kita bisa menjejaki usaha sarjana kiri ini dalam menemukan daya ucap bahasa serapan ke dalam sasaran.
Tidak hanya berkemampuan memilih diksi yang bernas dan tepat, Malaka juga berhasil menjelaskan filsafat dan sains dalam bahasa sehari-hari dalam Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika. Tak jarang, ia menggunakan perumpamaan yang sangat akrab dengan masyarakatnya. Misalnya, ketika menghadapi ratusan bahkan ribuan buku filsafat, kita seakan-akan memasuki labirin ilmu yang berasal dari Yunani ini. Karena itu, ia membuat perumpamaan pertandingan sepak bola, saat kita harus memisahkan pemain sesuai dengan klub, sehingga kita tahu siapa pemenang dan pecundang. Lebih jauh, mana yang baik permainannya dan tidak.
Dengan perumpamaan di atas, seraya merujuk pada Friedrich Engels, filsafat dibagi dalam dua aliran, yaitu idealisme, dengan pemainnya seperti Plato, Hume, Berkeley, serta Hegel, dan materialisme, yang dibarisi oleh Herakleitos, Demokritos, dan Epicurus. Mazhab pertama berandai bahwa ide itu lebih dulu hadir, sementara yang kedua menganggap benda adalah sesuatu yang hadir pertama kali, lalu ditafsir oleh manusia. Tentu, dengan keberpihakan Malaka pada materialisme, kita bisa membayangkan siapa yang menang dan bermain cantik dalam persaingan ini.
Betapa pun Malaka masih menggunakan bahasa asal tanpa perubahan, ia juga sering meletakkan padanannya dalam tanda kurung atau sebaliknya. Bayangkan, kata production yang merupakan salah satu kunci dalam politik ekonomi Marxis diterjemahkan dengan “penghasilan”. Sedangkan pada hari ini, kata yang berasal dari gabungan imbuhan “pe-an” dan “hasil” ini hampir-hampir tidak digunakan untuk menunjukkan sebuah usaha yang menyebabkan lahirnya sesuatu, karena kata “penghasilan” telah dipahami sebatas pendapatan dari kegiatan transaksi atau gaji. Menariknya, bentuk verba dari kata ini, “menghasilkan”, justru sering digunakan untuk barang atau karya, bukan semata-mata “penghasilan”.
Bagaimanapun, perlu diakui bahwa Malaka adalah pembaca yang tekun dan teliti sehingga bisa menangkap maksud dari sebuah ide yang diungkap dalam bahasa asal dan dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia, meskipun pegiat bernama asli Sutan Ibrahim ini menyadari keterbatasannya. Mungkin ketekunan yang perlu dipelajari oleh kalangan akademik adalah upaya memahami konsep disiplin tertentu dengan menggunakan bahasa sehari-hari, sehingga tidak hanya menyesuaikan bunyi bahasa serapan ke dalam sasaran sesuai dengan aturan fonologis, seperti hypothesis menjadi “hipotesis”. Padahal, dengan menggunakan “persangkaan”, kita bisa memahami kata kunci penelitian kuantitatif ke dalam alam pikiran keseharian masyarakat kita.
Kadang banyak padanan yang disuguhkan dalam buku di atas tampak asing, meskipun sejatinya menggambarkan kata serapan, seperti by product dengan “hasil tersambil”, yang di tempat lain disebut “hasil sampingan”. Sepertinya, Malaka tidak mempunyai beban untuk menjadikan kosakata Melayu bersanding dengan bahasa Inggris atau Jerman, karena sejatinya istilah-istilah teknis itu adalah kata dasar yang dikembangkan secara konseptual untuk menggambarkan pengetahuan yang hendak dibangun.
Tak pelak, Husin, nama samaran yang pernah digunakannya, dengan tanpa beban menerjemahkan genealogi menjadi “ilmu turun-temurun”. Tentu saja, kata majemuk tersebut tampak tak memadai untuk menggambarkan genealogi, meskipun hakikatnya secara harfiah ia menggambarkan makna kata yang berasal dari genea (generasi) dan logos (pengetahuan) ini.
Banyak istilah lain yang mungkin akan dihindari kaum cerdik-pandai karena khawatir kehilangan maksud asal, seperti filsafat “spekulatif” dengan filsafat “terka-menerka”.
Padahal keduanya membayangkan makna yang sama, tapi kata yang terakhir dengan sendirinya dianggap asal-asalan, sementara speculative lebih menantang secara intelektual.
Kegairahan kita untuk meninggalkan daya ungkap bahasa sendiri bisa dipahami karena istilah kesarjanaan banyak diimpor dari bahasa luar.
Tak pelak, dalam penulisan dan pembahasan intelektual, kalangan akademik lebih suka menggunakan kata serapan begitu saja, meskipun ada ruang untuk menjadikan kosakata bermuatan ilmiah.
Karena kebiasaan inilah kita akan merasa aneh dengan penggunaan “kamar ilmu pisah” untuk laboratorium dan “jalan campur aduk” untuk joint method. Demikian pula, kata “peramatan” untuk observation mungkin dianggap tak bisa mewakili, sehingga kata “observasi” lebih diutamakan dalam percakapan kaum terpelajar. Padahal, dengan merujuk pada Michel Foucault tentang relasi pengetahuan-kekuasaan, andai kata ilmu falsafah itu lahir di Jawa, mungkin hari ini orang-orang Eropa akan merujuk pada istilah-istilah Jawa untuk berwacana.
* Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar