Minggu, 16 April 2017

Artikel

Deparpolisasi

Qaris Tajudin*, Majalah Tempo, 25 Apr 2016
Ketika Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama memutuskan untuk maju dalam pemilihan kepala daerah sebagai calon independen, dunia politik geger. Sejumlah partai politik melakukan manuver agar Ahok-panggilan Basuki-gagal maju dalam pemilihan gubernur pada 2017.
Kegerahan partai politik ini dapat dimengerti karena sampai saat ini popularitas Ahok masih tinggi, bahkan jauh lebih tinggi daripada calon-calon gubernur Jakarta lainnya yang sudah mengumumkan diri. Jika Ahok berhasil maju dan bahkan menang, partai politik tak diperlukan lagi dalam percaturan politik. Toh, tanpa partai pun seseorang bisa maju menjadi kepala daerah.
Sebenarnya, Ahok bukan orang pertama yang maju tanpa partai. Sudah banyak kepala daerah yang berhasil maju–bahkan terpilih–menjadi pemimpin di sejumlah daerah. Masalahnya, Ahok akan maju di Jakarta, barometer politik Indonesia, daerah yang bisa membawa pemimpinnya yang berhasil ke kursi presiden. Itulah mengapa langkah Ahok ini dianggap sebagai “deparpolisasi”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “deparpolisasi” diartikan sebagai pengurangan jumlah parpol atau partai politik. Dalam konteks majunya Ahok lewat jalur independen, “deparpolisasi” diartikan sebagai pengurangan fungsi atau pengaruh partai politik.
Meski sudah tercantum dalam Kamus Besar, menurut saya, kata “deparpolisasi” adalah bentukan yang ngawur. “Deparpolisasi” itu menambahkan dua imbuhan serapan dari bahasa Inggris ke kata (bahkan sebenarnya adalah akronim) bahasa Indonesia. Di sinilah letak kengawuran dimulai.
“De” adalah prefiks atau awalan dalam bahasa Inggris yang berarti negative remove atau penafian sebuah gerakan/proses. Sedangkan “sasi” adalah serapan dari tion yang biasanya dalam bahasa Inggris digunakan untuk mengubah verb menjadi noun. Saat diserap ke bahasa Indonesia, kata bahasa Inggris yang berakhiran tion selalu diubah menjadi berakhiran “si”. Misalnya, organization menjadi organisasi. Kata ini berasal dari kata kerja to organize.
Pembuat kata “deparpolisasi” rupanya menganggap parpol sebagai sebuah verb atau kata kerja sehingga perlu diberi akhiran tion agar bisa menjadi noun. Masalahnya, parpol bukan kata kerja dan-yang terpenting-ini adalah bahasa Indonesia. “Deparpolisasi” itu adalah bentukan yang ngawur karena tidak ada kata deparpolitation dalam bahasa Inggris.
Hal yang sama terjadi pada kata “hilirisasi” yang amat sering digunakan oleh wartawan ekonomi. Ini juga bentukan yang ngawur karena tidak ada hiliritation dalam bahasa Inggris.
Setiap imbuhan serapan–baik awalan maupun akhiran–hanya bisa dimasukkan ke kata asli bahasa asal imbuhan tersebut. Imbuhan yang diserap dari bahasa Inggris sudah semestinya hanya masuk ke kata bahasa Inggris. Imbuhan itu tidak diserap secara terpisah, tapi diambil utuh bersama dengan katanya.
Memakai imbuhan asing untuk kata dari bahasa Indonesia ini seperti Frankenstein yang mencangkok potongan-potongan dari berbagai tubuh ke dalam satu badan.
Dan ini sebuah bentuk “ngawurisasi”-jika kita juga mau berakrobat ngawur seperti pemakai kata “deparpolisasi”.
* Wartawan Tempo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar