Ekspor Kata
Kasijanto Sastrodinomo*, Majalah Tempo, 21 Mar 2016
Kolom ini tidak bermaksud menandingi kolom mahaguru saya, Sapardi Djoko Damono, yang bertajuk “Impor Kata” dalam rubrik ini (Tempo, 14-20 Desember 2015). Tulisan ini hanya melengkapi risalah yang mendahului itu. Jalan pikirannya sederhana: jika ada impor, semestinya ada ekspor, layaknya neraca perdagangan antarnegeri. Impor kata, seperti telah ditulis, berarti mendatangkan kata dari luar bahasa sendiri; sedangkan ekspor kata, sebaliknya, mengirim kata dari bahasa sendiri ke bahasa (negeri) lain. Catatannya, tidak seperti ekspor/impor komoditas, dalam ekspor/impor kata tidak selalu jelas siapa pelakunya, dan apakah hal itu sengaja dilakukan atau tidak.
Bukti menunjukkan sejumlah kata Indonesia masuk ke khazanah bahasa Belanda sebagai akibat pergaulan kolonial berabad silam. Jejaknya antara lain terlihat dalam Verklarend Handwoordenboek der Nederlandse Taal, redaksi M.J. Koenen dan J.B. Drewes (cetakan ke-27, Wolters-Noordhoff, 1983). Sedikitnya 110 kata Indonesia, tidak termasuk nama geografi dan etnis, tercatat sebagai lema dalam kamus itu. Bilangan itu tentu hanya nol koma sekian persen dari keseluruhan lema kamus 1.696 halaman tersebut, dan tampak pula masih di bawah jumlah kosakata Belanda yang terserap ke bahasa Indonesia. Artinya, neraca ekspor/impor bahasa kita dengan Belanda terbilang njomplang.
Kata-kata yang merujuk pada flora paling banyak dicatat dalam kamus Koenen-Drewes tersebut (dalam ejaan Belanda), seperti bamboe, damar, djati, melatie, padie, pandan, rotan, sago, dan sirih; menyusul ragam kuliner/bahan makanan semisal bras, kroepoek, ketjap, nasie goreng, sambal, sate, trassi, dan sejenisnya. Lema fauna antara lain glatik, kalong, karbouw, tjitjak, dan toke. Perihal lingkungan/lahan terbaca pada lema kampong, kebon, negorij, sawa, tegal, dan lain-lain. Pada lema bangunan ada benteng, kraton, pagger, passar, dan warong. Beberapa peralatan disebut dalam lema klamboe, kris, pajoeng, patjol, prauw, tjap, dan sebagainya.
Walau sekelumit, Koenen-Drewes juga merekam kelompok sosial di Indonesia, yaitu baboe, kromo, pemoeda, totok, dan oelama. Tentang golongan elite, kamus itu tersirat mewadahinya dalam lema istilah gelar, seperti raden, soenan atau soesoehoenan, dan toean atau toewan. Cuma sedikit lema politik yang diangkat, yakni koempeni (dari bahasa Belanda compagnie), koempoelan, dan Sarèkat Islam. Selebihnya adalah lema tentang pakaian/aksesori, ukuran, instrumen kesenian, buah-buahan, kejadian alam, serta beberapa kata kerja dan kata sifat.
Tidak ada penjelasan khusus mengapa kata-kata itu terpilih masuk kamus. Mungkin (orang) Belanda melihatnya unik, eksotik, dan karena itu menarik. Aneka flora, fauna, dan kuliner asli sering membuat orang asing terkesan sehingga mereka tertarik mencatatnya. Daun pandan, misalnya, menarik hati Hendrik Willem Hofstede, seorang insinyur, sehingga ia menuliskannya sebagai disertasi, berjudul Het Pandanblad (1925), dan melihatnya sebagai bahan baku anyam-anyaman yang bernilai ekonomis tinggi. Bukan tidak mungkin studi semacam itu berpengaruh terhadap pekamus dalam menetapkan suatu lema.
Pertimbangan lebih “serius” bisa saja terjadi pada pemilihan kosakata politik. Lema koempeni mungkin lahir dari pikiran tentang supremasi perdagangan Belanda masa lampau. Lema Sarekat Islam boleh jadi memantulkan “kenangan yang membekas” bagi Belanda saat menghadapi organisasi pergerakan berbasis Islam yang radikal pada masa kolonial. Begitu pula pilihan atas kata koempoelan, yang diartikan sebagai “vergadering” atau “bijeenkomst” alias “rapat”, tampak menyiratkan “sensitivitas politik” pemerintah jajahan kala itu.
Siapakah yang, sengaja atau tidak sengaja, mengekspor kata-kata Indonesia ke negeri seberang nan jauh itu? Pertama, pejabat kolonial patut ditengarai kerap menyisipkannya dalam pelbagai dokumen laporan resmi, seperti verbaal, mailrapport “laporan kiriman”, dan memorie van overgave “naskah serah jabatan”, yang dikirim ke “negeri induk”. Dalam teks bermacam dokumen itu, hampir selalu ditemukan kata-kata Indonesia yang tidak dijelaskan lagi dalam bahasa Belanda. Kedua, para ilmuwan, wartawan, penulis, dan pelancong juga berperan menyebarluaskannya kepada pembaca.
Bagaimana kata-kata Indonesia berbaur dalam kalimat Belanda terlihat dalam buku Hein Buitenweg, Op Java staat een huis (1960), sekadar contoh. Setelah melancong ke pantai selatan Jawa, Buitenweg menulis, “Uit de bijgebouwen achter de kleine pasanggrahan, waar de oude mandoer met zijn jonge bini, komt een zacht en mineur geneurie en door het smalle gangetje tussen de vier logeerkamertjes drijf de mystieke geur van doepa aan.” Intinya, dari sebuah bangunan tambahan di belakang pesanggrahan kecil tempat mandor tua dan istri mudanya tinggal, terdengar senandung lirih dan bau mistis dupa yang menebar dari gang sempit di antara empat kamar tamu.
* Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia