Minggu, 16 April 2017

Artikel

Ekspor Kata

Kasijanto Sastrodinomo*, Majalah Tempo, 21 Mar 2016
Kolom ini tidak bermaksud menandingi kolom mahaguru saya, Sapardi Djoko Damono, yang bertajuk “Impor Kata” dalam rubrik ini (Tempo, 14-20 Desember 2015). Tulisan ini hanya melengkapi risalah yang mendahului itu. Jalan pikirannya sederhana: jika ada impor, semestinya ada ekspor, layaknya neraca perdagangan antarnegeri. Impor kata, seperti telah ditulis, berarti mendatangkan kata dari luar bahasa sendiri; sedangkan ekspor kata, sebaliknya, mengirim kata dari bahasa sendiri ke bahasa (negeri) lain. Catatannya, tidak seperti ekspor/impor komoditas, dalam ekspor/impor kata tidak selalu jelas siapa pelakunya, dan apakah hal itu sengaja dilakukan atau tidak.
Bukti menunjukkan sejumlah kata Indonesia masuk ke khazanah bahasa Belanda sebagai akibat pergaulan kolonial berabad silam. Jejaknya antara lain terlihat dalam Verklarend Handwoordenboek der Nederlandse Taal, redaksi M.J. Koenen dan J.B. Drewes (cetakan ke-27, Wolters-Noordhoff, 1983). Sedikitnya 110 kata Indonesia, tidak termasuk nama geografi dan etnis, tercatat sebagai lema dalam kamus itu. Bilangan itu tentu hanya nol koma sekian persen dari keseluruhan lema kamus 1.696 halaman tersebut, dan tampak pula masih di bawah jumlah kosakata Belanda yang terserap ke bahasa Indonesia. Artinya, neraca ekspor/impor bahasa kita dengan Belanda terbilang njomplang.
Kata-kata yang merujuk pada flora paling banyak dicatat dalam kamus Koenen-Drewes tersebut (dalam ejaan Belanda), seperti bamboedamardjatimelatiepadiepandanrotansago, dan sirih; menyusul ragam kuliner/bahan makanan semisal braskroepoekketjapnasie gorengsambalsatetrassi, dan sejenisnya. Lema fauna antara lain glatikkalongkarbouwtjitjak, dan toke. Perihal lingkungan/lahan terbaca pada lema kampongkebonnegorijsawategal, dan lain-lain. Pada lema bangunan ada bentengkratonpaggerpassar, dan warong. Beberapa peralatan disebut dalam lema klamboekrispajoengpatjolprauwtjap, dan sebagainya.
Walau sekelumit, Koenen-Drewes juga merekam kelompok sosial di Indonesia, yaitu baboekromopemoedatotok, dan oelama. Tentang golongan elite, kamus itu tersirat mewadahinya dalam lema istilah gelar, seperti radensoenan atau soesoehoenan, dan toean atau toewan. Cuma sedikit lema politik yang diangkat, yakni koempeni (dari bahasa Belanda compagnie), koempoelan, dan Sarèkat Islam. Selebihnya adalah lema tentang pakaian/aksesori, ukuran, instrumen kesenian, buah-buahan, kejadian alam, serta beberapa kata kerja dan kata sifat.
Tidak ada penjelasan khusus mengapa kata-kata itu terpilih masuk kamus. Mungkin (orang) Belanda melihatnya unik, eksotik, dan karena itu menarik. Aneka flora, fauna, dan kuliner asli sering membuat orang asing terkesan sehingga mereka tertarik mencatatnya. Daun pandan, misalnya, menarik hati Hendrik Willem Hofstede, seorang insinyur, sehingga ia menuliskannya sebagai disertasi, berjudul Het Pandanblad (1925), dan melihatnya sebagai bahan baku anyam-anyaman yang bernilai ekonomis tinggi. Bukan tidak mungkin studi semacam itu berpengaruh terhadap pekamus dalam menetapkan suatu lema.
Pertimbangan lebih “serius” bisa saja terjadi pada pemilihan kosakata politik. Lema koempeni mungkin lahir dari pikiran tentang supremasi perdagangan Belanda masa lampau. Lema Sarekat Islam boleh jadi memantulkan “kenangan yang membekas” bagi Belanda saat menghadapi organisasi pergerakan berbasis Islam yang radikal pada masa kolonial. Begitu pula pilihan atas kata koempoelan, yang diartikan sebagai “vergadering” atau “bijeenkomst” alias “rapat”, tampak menyiratkan “sensitivitas politik” pemerintah jajahan kala itu.
Siapakah yang, sengaja atau tidak sengaja, mengekspor kata-kata Indonesia ke negeri seberang nan jauh itu? Pertama, pejabat kolonial patut ditengarai kerap menyisipkannya dalam pelbagai dokumen laporan resmi, seperti verbaalmailrapport “laporan kiriman”, dan memorie van overgave “naskah serah jabatan”, yang dikirim ke “negeri induk”. Dalam teks bermacam dokumen itu, hampir selalu ditemukan kata-kata Indonesia yang tidak dijelaskan lagi dalam bahasa Belanda. Kedua, para ilmuwan, wartawan, penulis, dan pelancong juga berperan menyebarluaskannya kepada pembaca.
Bagaimana kata-kata Indonesia berbaur dalam kalimat Belanda terlihat dalam buku Hein Buitenweg, Op Java staat een huis (1960), sekadar contoh. Setelah melancong ke pantai selatan Jawa, Buitenweg menulis, “Uit de bijgebouwen achter de kleine pasanggrahan, waar de oude mandoer met zijn jonge bini, komt een zacht en mineur geneurie en door het smalle gangetje tussen de vier logeerkamertjes drijf de mystieke geur van doepa aan.” Intinya, dari sebuah bangunan tambahan di belakang pesanggrahan kecil tempat mandor tua dan istri mudanya tinggal, terdengar senandung lirih dan bau mistis dupa yang menebar dari gang sempit di antara empat kamar tamu.
* Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Artikel

Kosakata Tan Malaka

Ahmad Sahidah*, Majalah Tempo, 11 Apr 2016
Perkembangan khazanah lema bahasa Indonesia sangat pesat. Setelah ditetapkan sebagai bahasa kesatuan dalam ikrar Sumpah Pemuda, ia telah mengikat rakyat Negeri Khatulistiwa dalam satu bahasa persatuan. Namun tidak mudah menjadikannya alat komunikasi, baik lisan maupun tulisan, agar bisa menangkap gerak perkembangan zaman. Betapapun bahasa ini luwes, ia juga perlu menimbang sejarah linguistiknya agar tidak dijarah oleh sikap malas pengguna. Dengan membaca kembali karya-karya awal Tan Malaka, kita bisa menjejaki usaha sarjana kiri ini dalam menemukan daya ucap bahasa serapan ke dalam sasaran.
Tidak hanya berkemampuan memilih diksi yang bernas dan tepat, Malaka juga berhasil menjelaskan filsafat dan sains dalam bahasa sehari-hari dalam Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika. Tak jarang, ia menggunakan perumpamaan yang sangat akrab dengan masyarakatnya. Misalnya, ketika menghadapi ratusan bahkan ribuan buku filsafat, kita seakan-akan memasuki labirin ilmu yang berasal dari Yunani ini. Karena itu, ia membuat perumpamaan pertandingan sepak bola, saat kita harus memisahkan pemain sesuai dengan klub, sehingga kita tahu siapa pemenang dan pecundang. Lebih jauh, mana yang baik permainannya dan tidak.
Dengan perumpamaan di atas, seraya merujuk pada Friedrich Engels, filsafat dibagi dalam dua aliran, yaitu idealisme, dengan pemainnya seperti Plato, Hume, Berkeley, serta Hegel, dan materialisme, yang dibarisi oleh Herakleitos, Demokritos, dan Epicurus. Mazhab pertama berandai bahwa ide itu lebih dulu hadir, sementara yang kedua menganggap benda adalah sesuatu yang hadir pertama kali, lalu ditafsir oleh manusia. Tentu, dengan keberpihakan Malaka pada materialisme, kita bisa membayangkan siapa yang menang dan bermain cantik dalam persaingan ini.
Betapa pun Malaka masih menggunakan bahasa asal tanpa perubahan, ia juga sering meletakkan padanannya dalam tanda kurung atau sebaliknya. Bayangkan, kata production yang merupakan salah satu kunci dalam politik ekonomi Marxis diterjemahkan dengan “penghasilan”. Sedangkan pada hari ini, kata yang berasal dari gabungan imbuhan “pe-an” dan “hasil” ini hampir-hampir tidak digunakan untuk menunjukkan sebuah usaha yang menyebabkan lahirnya sesuatu, karena kata “penghasilan” telah dipahami sebatas pendapatan dari kegiatan transaksi atau gaji. Menariknya, bentuk verba dari kata ini, “menghasilkan”, justru sering digunakan untuk barang atau karya, bukan semata-mata “penghasilan”.
Bagaimanapun, perlu diakui bahwa Malaka adalah pembaca yang tekun dan teliti sehingga bisa menangkap maksud dari sebuah ide yang diungkap dalam bahasa asal dan dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia, meskipun pegiat bernama asli Sutan Ibrahim ini menyadari keterbatasannya. Mungkin ketekunan yang perlu dipelajari oleh kalangan akademik adalah upaya memahami konsep disiplin tertentu dengan menggunakan bahasa sehari-hari, sehingga tidak hanya menyesuaikan bunyi bahasa serapan ke dalam sasaran sesuai dengan aturan fonologis, seperti hypothesis menjadi “hipotesis”. Padahal, dengan menggunakan “persangkaan”, kita bisa memahami kata kunci penelitian kuantitatif ke dalam alam pikiran keseharian masyarakat kita.
Kadang banyak padanan yang disuguhkan dalam buku di atas tampak asing, meskipun sejatinya menggambarkan kata serapan, seperti by product dengan “hasil tersambil”, yang di tempat lain disebut “hasil sampingan”. Sepertinya, Malaka tidak mempunyai beban untuk menjadikan kosakata Melayu bersanding dengan bahasa Inggris atau Jerman, karena sejatinya istilah-istilah teknis itu adalah kata dasar yang dikembangkan secara konseptual untuk menggambarkan pengetahuan yang hendak dibangun.
Tak pelak, Husin, nama samaran yang pernah digunakannya, dengan tanpa beban menerjemahkan genealogi menjadi “ilmu turun-temurun”. Tentu saja, kata majemuk tersebut tampak tak memadai untuk menggambarkan genealogi, meskipun hakikatnya secara harfiah ia menggambarkan makna kata yang berasal dari genea (generasi) dan logos (pengetahuan) ini.
Banyak istilah lain yang mungkin akan dihindari kaum cerdik-pandai karena khawatir kehilangan maksud asal, seperti filsafat “spekulatif” dengan filsafat “terka-menerka”.
Padahal keduanya membayangkan makna yang sama, tapi kata yang terakhir dengan sendirinya dianggap asal-asalan, sementara speculative lebih menantang secara intelektual.
Kegairahan kita untuk meninggalkan daya ungkap bahasa sendiri bisa dipahami karena istilah kesarjanaan banyak diimpor dari bahasa luar.
Tak pelak, dalam penulisan dan pembahasan intelektual, kalangan akademik lebih suka menggunakan kata serapan begitu saja, meskipun ada ruang untuk menjadikan kosakata bermuatan ilmiah.
Karena kebiasaan inilah kita akan merasa aneh dengan penggunaan “kamar ilmu pisah” untuk laboratorium dan “jalan campur aduk” untuk joint method. Demikian pula, kata “peramatan” untuk observation mungkin dianggap tak bisa mewakili, sehingga kata “observasi” lebih diutamakan dalam percakapan kaum terpelajar. Padahal, dengan merujuk pada Michel Foucault tentang relasi pengetahuan-kekuasaan, andai kata ilmu falsafah itu lahir di Jawa, mungkin hari ini orang-orang Eropa akan merujuk pada istilah-istilah Jawa untuk berwacana.
* Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia

Artikel

Deparpolisasi

Qaris Tajudin*, Majalah Tempo, 25 Apr 2016
Ketika Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama memutuskan untuk maju dalam pemilihan kepala daerah sebagai calon independen, dunia politik geger. Sejumlah partai politik melakukan manuver agar Ahok-panggilan Basuki-gagal maju dalam pemilihan gubernur pada 2017.
Kegerahan partai politik ini dapat dimengerti karena sampai saat ini popularitas Ahok masih tinggi, bahkan jauh lebih tinggi daripada calon-calon gubernur Jakarta lainnya yang sudah mengumumkan diri. Jika Ahok berhasil maju dan bahkan menang, partai politik tak diperlukan lagi dalam percaturan politik. Toh, tanpa partai pun seseorang bisa maju menjadi kepala daerah.
Sebenarnya, Ahok bukan orang pertama yang maju tanpa partai. Sudah banyak kepala daerah yang berhasil maju–bahkan terpilih–menjadi pemimpin di sejumlah daerah. Masalahnya, Ahok akan maju di Jakarta, barometer politik Indonesia, daerah yang bisa membawa pemimpinnya yang berhasil ke kursi presiden. Itulah mengapa langkah Ahok ini dianggap sebagai “deparpolisasi”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “deparpolisasi” diartikan sebagai pengurangan jumlah parpol atau partai politik. Dalam konteks majunya Ahok lewat jalur independen, “deparpolisasi” diartikan sebagai pengurangan fungsi atau pengaruh partai politik.
Meski sudah tercantum dalam Kamus Besar, menurut saya, kata “deparpolisasi” adalah bentukan yang ngawur. “Deparpolisasi” itu menambahkan dua imbuhan serapan dari bahasa Inggris ke kata (bahkan sebenarnya adalah akronim) bahasa Indonesia. Di sinilah letak kengawuran dimulai.
“De” adalah prefiks atau awalan dalam bahasa Inggris yang berarti negative remove atau penafian sebuah gerakan/proses. Sedangkan “sasi” adalah serapan dari tion yang biasanya dalam bahasa Inggris digunakan untuk mengubah verb menjadi noun. Saat diserap ke bahasa Indonesia, kata bahasa Inggris yang berakhiran tion selalu diubah menjadi berakhiran “si”. Misalnya, organization menjadi organisasi. Kata ini berasal dari kata kerja to organize.
Pembuat kata “deparpolisasi” rupanya menganggap parpol sebagai sebuah verb atau kata kerja sehingga perlu diberi akhiran tion agar bisa menjadi noun. Masalahnya, parpol bukan kata kerja dan-yang terpenting-ini adalah bahasa Indonesia. “Deparpolisasi” itu adalah bentukan yang ngawur karena tidak ada kata deparpolitation dalam bahasa Inggris.
Hal yang sama terjadi pada kata “hilirisasi” yang amat sering digunakan oleh wartawan ekonomi. Ini juga bentukan yang ngawur karena tidak ada hiliritation dalam bahasa Inggris.
Setiap imbuhan serapan–baik awalan maupun akhiran–hanya bisa dimasukkan ke kata asli bahasa asal imbuhan tersebut. Imbuhan yang diserap dari bahasa Inggris sudah semestinya hanya masuk ke kata bahasa Inggris. Imbuhan itu tidak diserap secara terpisah, tapi diambil utuh bersama dengan katanya.
Memakai imbuhan asing untuk kata dari bahasa Indonesia ini seperti Frankenstein yang mencangkok potongan-potongan dari berbagai tubuh ke dalam satu badan.
Dan ini sebuah bentuk “ngawurisasi”-jika kita juga mau berakrobat ngawur seperti pemakai kata “deparpolisasi”.
* Wartawan Tempo

Puisi karya WS Rendra

 

 TAHANAN

Atas ranjang batu
tubuhnya panjang
bukit barisan tanpa bulan
kabur dan liat
dengan mata sepikan terali
Di lorong-lorong
jantung matanya
para pemuda bertangan merah
serdadu-serdadu Belanda rebah
Di mulutnya menetes
lewat mimpi
darah di cawan tembikar
dijelmakan satu senyum
barat  di perut gunung
(Para pemuda bertangan merah
adik lelaki neruskan dendam)
Dini hari bernyanyi
di luar dirinya
Anak lonceng
menggeliat enam kali
di perut ibunya
Mendadak
dipejamkan matanya
Sipir memutar kunci selnya
dan berkata
-He, pemberontak
hari yang berikut bukan milikmu !
Diseret di muka peleton algojo
ia meludah
tapi tak dikatakannya
-Semalam kucicip sudah
betapa lezatnya madu darah.
Dan tak pernah didengarnya
enam pucuk senapan
meletus bersama


 SAJAK SEORANG TUA UNTUK ISTERINYA


Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita
yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.
Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerna setiap orang mengalaminya.
Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan samodra,
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
Tetapi demi kehormatan seorang manusia.
Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu
meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya.
Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.
Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,
nasib, dan kehidupan.
Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kaukenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa kita ditantang seratus dewa.

WS. Rendra, Sajak-sajak sepatu tua,1972
…BAHWA KITA DITANTANG SERATUS DEWA.



SAJAK TANGAN


Inilah tangan seorang mahasiswa,
tingkat sarjana muda.
Tanganku. Astaga.
Tanganku menggapai,
yang terpegang anderox hostes berumbai,
Aku bego. Tanganku lunglai.
Tanganku mengetuk pintu,
tak ada jawaban.
Aku tendang pintu,
pintu terbuka.
Di balik pintu ada lagi pintu.
Dan selalu :
ada tulisan jam bicara
yang singkat batasnya.
Aku masukkan tangan-tanganku ke celana
dan aku keluar mengembara.
Aku ditelan Indonesia Raya.
Tangan di dalam kehidupan
muncul di depanku.
Tanganku aku sodorkan.
Nampak asing di antara tangan beribu.
Aku bimbang akan masa depanku.
Tangan petani yang berlumpur,
tangan nelayan yang bergaram,
aku jabat dalam tanganku.
Tangan mereka penuh pergulatan
Tangan-tangan yang menghasilkan.
Tanganku yang gamang
tidak memecahkan persoalan.
Tangan cukong,
tangan pejabat,
gemuk, luwes, dan sangat kuat.
Tanganku yang gamang dicurigai,
disikat.
Tanganku mengepal.
Ketika terbuka menjadi cakar.
Aku meraih ke arah delapan penjuru.
Di setiap meja kantor
bercokol tentara atau orang tua.
Di desa-desa
para petani hanya buruh tuan tanah.
Di pantai-pantai
para nelayan tidak punya kapal.
Perdagangan berjalan tanpa swadaya.
Politik hanya mengabdi pada cuaca…..
Tanganku mengepal.
Tetapi tembok batu didepanku.
Hidupku tanpa masa depan.
Kini aku kantongi tanganku.
Aku berjalan mengembara.
Aku akan menulis kata-kata kotor
di meja rektor
TIM, 3 Juli 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi


Makna Sebuah Titipan

Sering kali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya
Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya

Tetapi,mengapa aku tak pernah bertanya;
Mengapa Dia menitipkan padaku ?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku ?
Dan kalau bukan milikku,apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu ?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku ?

Mengapa hatiku justru terasa berat,ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
Kusebut sebagai ujian,kusebut sebagai petaka
Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita

Ketika aku berdo’a,kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku
Aku ingin lebih banyak harta,ingin lebih banyak mobil,lebih banyak popularitas,dan kutolak sakit
Kutolak kemiskinan,seolah semua”derita” adalah hukuman bagiku
Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika:
Aku rajin beribadah,maka selayaknyalah derita menjauh dariku,dan nikmat dunia kerap menghampiriku

Kuperlakukan Dia sebagai mitra dagang,dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas”perlakuan baikku”
Dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku

Gusti,
Padahal tiap hari kuucapkan,hidup dan matiku hanya untuk beribadah
“Ketika langit dan bumi bersatu,bencana dan keberuntungan sama saja”

GUGUR


 Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya
Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya
Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Belumlagi selusin tindak
mautpun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata :
” Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang.”
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa
Orang tua itu kembali berkata :
“Lihatlah, hari telah fajar !
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya !
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menacapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata :
-Alangkah gemburnya tanah di sini!”
Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya

Puisi karya Kahlil Gibran

Kahlil Gibran lahir di Lebanon 1833. Pada usia 10 tahun ia berimigrasi ke Amerika bersama Ibu dan kedua adiknya, dan Ia sempat kembali ketanah kelahirannya selama tiga tahun untuk memperdalam bahasa arab, Kahlil Gibran menghabiskan masa remaja bersama seniman bohemian di Boston. Tulisan-tulisan Kahlil Gibran dikenal luas karena cita rasa orientalnya yang Eksotik, bahkan mistis, Dianggap sebagai penyair Arab perantauan terbesar dan Karya-karyanya telah diterjemahkan kelebih 20 bahasa, Oke langsung saja untuk menikmati karya-karya Kahlil Gibran.

Puisi Kahlil Gibran
Kumpulan Puisi Kahlil Gibran


7 ALASAN MENCELA DIRIMU
Oleh Kahlil Gibran

Tujuh kali aku pernah mencela jiwaku,
pertama kali ketika aku melihatnya lemah,
padahal seharusnya ia bisa kuat.

Kedua kali ketika melihatnya berjalan terjongket-jongket
dihadapan orang yang lumpuh

Ketiga kali ketika berhadapan dengan pilihan yang sulit dan mudah
ia memilih yang mudah

Keempat kalinya, ketika ia melakukan kesalahan dan cuba menghibur diri
dengan mengatakan bahawa semua orang juga melakukan kesalahan

Kelima kali, ia menghindar kerana takut, lalu mengatakannya sebagai sabar

Keenam kali, ketika ia mengejek kepada seraut wajah buruk
padahal ia tahu, bahawa wajah itu adalah salah satu topeng yang sering ia pakai

Dan ketujuh, ketika ia menyanyikan lagu pujian dan menganggap itu sebagai suatu yang bermanfaat

ANTARA PAGI DAN MALAM HARI
Oleh Kahlil Gibran
TENANGLAH hatiku, kerana langit tak pun mendengari
Tenanglah, kerana bumi dibebani dengan ratapan kesedihan.
Dia takkan melahirkan melodi dan nyanyianmu.
Tenanglah, kerana roh-roh malam tak menghiraukan bisikan rahsiamu, dan bayang-bayang tak berhenti dihadapan mimpi-mimpi.
Tenanglah, hatiku. Tenanglah hingga fajar tiba, kerana dia yang menanti pagi dengan sabar akan menyambut pagi dengan kekuatan. Dia yang mencintai cahaya, dicintai cahaya.
Tenanglah hatiku, dan dengarkan ucapanku.

DALAM mimpi aku melihat seekor murai menyanyi saat dia terbang di atas kawah gunung berapi yang meletus.
Kulihat sekuntum bunga Lili menyembulkan kelopaknya di balik salju.
Kulihat seorang bidadari te***jang menari-menari di antara batu-batu kubur.
Kulihat seorang anak tertawa sambil bermain dengan tengkorak-tengkorak.
Kulihat semua makhluk ini dalam sebuah mimpi. Ketika aku terjaga dan memandang sekelilingku, kulihat gunung berapi memuntahkan nyala api, tapi tak kudengar murai bernyanyi, juga tak kulihat dia terbang.
Kulihat langit menaburkan salju di atas padang dan lembah, dilapisi warna putih mayat dari bunga lili yang membeku.
Kulihat kuburan-kuburan, berderet-deret, tegak di hadapan zaman-zaman yang tenang. Tapi tak satu pun kulihat di sana yang bergoyang dalam tarian, juga tidak yang tertunduk dalam doa.
Saat terjaga, kulihat kesedihan dan kepedihan; ke manakah perginya kegembiraan dan kesenangan impian?
Mengapa keindahan mimpi lenyap, dan bagaimana gambaran-gambarannya menghilang? Bagaimana mungkin jiwa tertahan sampai sang tidur membawa kembali roh-roh dari hasrat dan harapannya?

DENGARLAH hatiku, dan dengarlah ucapanku.
Semalam jiwaku adalah sebatang pohon yang kukuh dan tua, menghunjam akar-akarnya ke dasar bumi dan cabang-cabangnya mencekau ke arah yang tak terhingga.
Jiwaku berbunga di musim bunga, memikul buah pada musim panas. Pada musim gugur kukumpulkan buahnya di mangkuk perak dan kuletakkannya di tengah jalan. Orang-orang yang lalu lalang mengambil dan memakannya, serta meneruskan perjalanan mereka.

KALA musim gugur berlalu dan gita pujinya bertukar menjadi lagu kematian dan ratapan, kudapati semua orang telah meninggalkan diriku kecuali satu-satunya buah di talam perak.
Kuambil ia dan memakannya, dan merasakan pahitnya bagai kayu gaharu, masam bak anggur hijau.
Aku berbicara dalam hati,"Bencana bagiku, kerana telah kutempatkan sebentuk laknat di dalam mulut orang-orang itu, dan permusuhan dalam perutnya.
" Apa yang telah kaulakukan, jiwaku, dengan kemanisan akar-akarmu itu yang telah meresap dari usus besar bumi, dengan wangian daun-daunmu yang telah meneguk cahaya matahari?"
Lalu kucabut pohon jiwaku yang kukuh dan tua.
Kucabut akarnya dari tanah liat yang di dalamnya dia telah bertunas dan tumbuh dengan subur. Kucabut akar dari masa lampaunya, menanggalkan kenangan seribu musim bunga dan seribu musim gugur.
Dan kutanam sekali lagi pohon jiwaku di tempat lain.
Kutanam dia di padang yang tempatnya jauh dari jalan-jalan waktu. Kulewatkan malam dengan terjaga di sisinya, sambil berkata,"Mengamati bersama malam yang membawa kita mendekati kerlipan bintang."
Aku memberinya minum dengan darah dan airmataku, sambil berkata,"Terdapat sebentuk keharuman dalam darah, dan dalam airmata sebentuk kemanisan."
Tatkala musim bunga tiba, jiwaku berbunga sekali lagi.

PADA musim panas jiwaku menyandang buah. Tatkala musim gugur tiba, kukumpulkan buah-buahnya yang matang di talam emas dan kuletakkan di tengah jalan. Orang-orang melintas, satu demi satu atau dalam kelompok-kelompok, tapi tak satu pun menghulurkan tangannya untuk mengambil bahagiannya.
Lalu kuambil sebuah dan memakannya, merasakan manisnya bagai madu pilihan, lazat seperti musim bunga dari syurga, sangat menyenangkan laksana anggur Babylon, wangi bak wangi-wangian dari melati.
Aku menjerit,"Orang-orang tak menginginkan rahmat pada mulutnya atau kebenaran dalam usus mereka, kerana rahmat adalah puteri airmata dan kebenaran putera darah!"
Lalu aku beralih dan duduk di bawah bayangan pohon sunyi jiwaku di sebuah padang yang tempatnya jauh dari jalan waktu.

TENANGLAH, hatiku, hingga fajar tiba.
Tenanglah, kerana langit menghembus bau hamis kematian dan tak bisa meminum nafasmu.
Dengarkan, hatiku, dan dengarkan aku bicara.
Semalam fikiranku adalah kapal yang terumbang-ambing oleh gelombang laut dan digerakkan oleh angin dari pantai ke pantai
Kapal fikiranku kosong kecuali untuk tujuh cawan yang dilimpahi dengan warna-warna, gemilang berwarna-warni.
Sang waktu datang kala aku merasa jemu terapung-apungan di atas permukaan laut dan berkata,
"Aku akan kembali ke kapal kosong fikiranku menuju pelabuhan kota tempat aku dilahirkan."
Tatkala kerjaku selesai, kapal fikiranku
Aku mulai mengecat sisi-sisi kapalku dengan warna-warni - kuning matahari terbenam, hijau musim bunga baru, biru kubah langit, merah senjakala yang menjadi kecil. Pada layar dan kemudinya kuukirkan susuk-susuk menakjubkan, menyenangkan mata dan menyenangkan penglihatan.
Tatkala kerjaku selesai, kapal fikiranku laksana pandangan luas seorang nabi, berputar dalam ketidakterbatasan laut dan langit. Kumasuki pelabuhan kotaku, dan orang muncul menemuiku dengan pujian dan rasa terima kasih. Mereka membawaku ke dalam kota, memukul gendang dan meniup seruling.
Ini mereka lakukan kerana bahagian luar kapalku yang dihias dengan cemerlang, tapi tak seorang pun masuk ke dalam kapal fikiranku.
Tak seorang pun bertanya apakah yang kubawa dari seberang lautan
Tak seorang pun tahu kenapa aku kembali dengan kapal kosongku ke pelabuhan.
Lalu kepada diriku sendiri, aku berkata,"Aku telah menyesatkan orang-orang, dan dengan tujuh cawan warna telah kudustai mata mereka"

Setelah setahun aku menaiki kapal fikiranku dan kulayari di laut untuk kedua kalinya.
Aku berlayar menuju pulau-pulau timur, dan mengisi kapalku dengan dupa dan kemenyan, pohon gaharu dan kayu cendana.
Aku berlayar menuju pulau-pulau barat, dan membawa bijih emas dan gading, batu merah delima dan zamrud, dan sulaman serta pakaian warna merah lembayung.
Dari pulau-pulau selatan aku kembali dengan rantai dan pedang tajam, tombak-tombak panjang, serta beraneka jenis senjata.
Aku mengisi kapal fikiranku dengan harta benda dan barang-barang lhasil bumi dan kembali ke pelabuhan kotaku, sambil berkata, "Orang-orangku pasti akan memujiku, memang sudah pastinya. Mereka akan menggendongku ke dalam kota sambil menyanyi dan meniup trompet"
Tapi ketika aku tiba di pelabuhan, tak seorangpun keluar menemuiku. Ketika kumasuki jalan-jalan kota, tak seorang pun memerhatikan diriku.
Aku berdiri di alun-alun sambil mengutuk pada orang-orang bahawa aku membawa buah dan kekayaan bumi. Mereka memandangku, mulutnya penuh tawa, cemuhan pada wajah mereka. Lalu mereka berpaling dariku.
Aku kembali ke pelabuhan, kesal dan bingung. Tak lama kemudian aku melihat kapalku. Maka aku melihat perjuangan dan harapan dari perjalananku yang menghalangi perhatianku. Aku menjerit.
Gelombang laut telah mencuri cat dari sisi-sisi kapalku, tak meninggalkan apa pun kecuali tulang belulang yang bertaburan.
Angin, badai dan terik matahari telah menghapus lukisan-lukisan dari layar, memudarkan ia seperti pakaian berwarna kelabu dan usang.
Kukumpulkan barang-barang hasil dan kekayaan bumi ke dalam sebuah perahu yang terapung di atas permukaan air. Aku kembali ke orang-orangku, tapi mereka menolak diriku kerana mata mereka hanya melihat bahagian luar.
Pada saat itu kutinggalkan kapal fikiranku dan pergi ke kota kematian. Aku duduk di antara kuburan-kuburan yang bercat kapur, merenungkan rahsia-rahsianya.

TENANGLAH, hatiku, hingga fajar tiba.
Tenanglah, meskipun prahara yang mengamuk mencerca bisikan-bisikan batinmu, dan gua-gua lembah takkan menggemakan bunyi suaramu.
Tenanglah, hatiku, hingga fajar tiba. Kerana dia yang menantikan dengan sabar hingga fajar, pagi hari akan memeluknya dengan semangat.
NUN di sana! Fajar merekah, hatiku. Bicaralah, jika kau mampu bicara!
Itulah arak-arakan sang fajar, hatiku! Akankah hening malam melumpuhkan kedalaman hatimu yang menyanyi menyambut fajar?
Lihatlah kawanan merpati dan burung murai melayang di atas lembah. Akankah kengerian malam menghalangi engkau untuk menduduki sayap bersama mereka?
Para pengembala memandu kawanan dombanya dari tempat ternak dan kandang.
Akankah roh-roh malam menghalangimu untuk mengikuti mereka ke padang rumput hijau?
Anak lelaki dan perempuan bergegas menuju kebun anggur. Kenapa kau tak berganjak dan berjalan bersama mereka?
Bangkitlah, hatiku, bangkit dan berjalan bersama fajar, kerana malam telah berlalu. Ketakutan malam lenyap bersama mimpi gelapnya.
Bangkitlah, hatiku, dan lantangkan suaramu dalam nyanyian, kerana hanya anak-anak kegelapan yang gagal menyatu ke dalam nyanyian sang fajar.

BAYANG
Oleh Kahlil Gibran

Setiap langkah ku ada dia..
Mengikuti di belakang punggungnya. .
Gelap dan tak terlihat..
Kasat mata..

Terdiam kala banyak yang membicarakannya. .
Seakan tak seorang pun memandang kearah ku..
Sibuk mengagumi pesonanya..
Sibuk meminta senyumannya. .

Akulah sang tak terlihat..
Saat dia berada di dekat ku..

Akulah sang gelap..
Dibalik wajah cerah nya..

Akulah sang kasat mata..
Ada namun seakan tak ada..

Akulah sang bayang..
Sesuatu yang tak dianggap ada..

menunggu

Hari terhitung minggu
Minggu pun menjadi bulan..
Pagi ku mengingat mu
Malam ku mengenangmu

Tetap saja semua sama
Sejak kau pergi..
Ku masih saja menanti mu
Hingga kau kembali
Dan takkan tinggalkan ku lagi..
Entah kapan..

Menunggu mu masih..
Setia tetap ku janji..
Hingga ku dapat kau kembali..
Bersama jalani hari..
CINTA SETUBUH PADAS
Oleh Kahlil Gibran

Cinta setubuh padas!
Bergelang waktu menggoda
sesal anak rahim di kandung celaka.
Mengunci tabir di buih-buih selaksa doa.

Mungkin karunia itu berakhir patah, atau
sekedar mengusap lempeng cumbu
bertahta angin! Dan cinta kian
menitik air mata di seanyam arang,
mantra hati menyusut di susuk semangat.

“Kembalikanlah amarahku; oh, cermin sangga!”

Lembut suara angannya mengelus padas,
agar memeluk kerat penguak duri
percintaan bersanding ajal.
Keadilan Cinta
ketika hati melangkah
ketika hasrat menggema
ketika rasa bergetar
saat itu daya tak kuasa
menemukan kekasih hati

Dimanakah posisi cinta
dikala hati menginginkannya
apakah cinta hanya sebuah pelampiasan
dari hasrat diri
dimanakah rasa
dikala posisi cinta bergeser

Cinta,
adakah cinta untukku
apakah cinta bisa berbuat adil

Entahlah...
dayaku tak kuasa lagi untuk menemukan cinta

Puisi Karya Taufik Ismail

Taufik ismail adalah salah satu Sastrawan yang terkenal di indonesia , karya karyanya banyak di kenali orang, berikut beberapa puisi karangan dari taufiq ismail


Puisi Taufik Ismail Kembalikan Indonesia Padaku


Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,
yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bolayang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam
dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam
lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,
sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang
sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam
dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Kembalikan
Indonesia
padaku

PUISI MENCARI SEBUAH MESJID


Aku diberitahu tentang sebuah masjid
yang tiang-tiangnya pepohonan di hutan
fondasinya batu karang dan pualam pilihan
atapnya menjulang tempat tersangkutnya awan
dan kubahnya tembus pandang, berkilauan
digosok topan kutub utara dan selatan

Aku rindu dan mengembara mencarinya

Aku diberitahu tentang sepenuh dindingnya yang transparan
dihiasi dengan ukiran kaligrafi Quran
dengan warna platina dan keemasan
berbentuk daun-daunan sangat beraturan
serta sarang lebah demikian geometriknya
ranting dan tunas jalin berjalin
bergaris-garis gambar putaran angin

Aku rindu dan mengembara mencarinya

Aku diberitahu tentang masjid yang menara-menaranya
menyentuh lapisan ozon
dan menyeru azan tak habis-habisnya
membuat lingkaran mengikat pinggang dunia
kemudian nadanya yang lepas-lepas
disulam malaikat menjadi renda-renda benang emas
yang memperindah ratusan juta sajadah
di setiap rumah tempatnya singgah

Aku rindu dan mengembara mencarinya

Aku diberitahu tentang sebuah masjid yang letaknya di mana
bila waktu azan lohor engkau masuk ke dalamnya
engkau berjalan sampai waktu asar
tak bisa kau capai saf pertama
sehingga bila engkau tak mau kehilangan waktu
bershalatlah di mana saja
di lantai masjid ini, yang luas luar biasa

Aku rindu dan mengembara mencarinya

Aku diberitahu tentang ruangan di sisi mihrabnya
yaitu sebuah perpustakaan tak terkata besarnya
dan orang-orang dengan tenang membaca di dalamnya
di bawah gantungan lampu-lampu kristal terbuat dari berlian
yang menyimpan cahaya matahari
kau lihat bermilyar huruf dan kata masuk beraturan
ke susunan syaraf pusat manusia dan jadi ilmu yang berguna
di sebuah pustaka yang bukunya berjuta-juta
terletak di sebelah menyebelah mihrab masjid kita

Aku rindu dan mengembara mencarinya

Aku diberitahu tentang masjid yang beranda dan ruang dalamnya
tempat orang-orang bersila bersama
dan bermusyawarah tentang dunia  dengan hati terbuka
dan pendapat bisa berlainan namun tanpa pertikaian
dan kalau pun ada pertikaian bisalah itu diuraikan
dalam simpul persaudaraan yang sejati
dalam hangat sajadah yang itu juga
terbentang di sebuah masjid yang mana

Tumpas aku dalam rindu
Mengembara mencarinya
Di manakah dia gerangan letaknya ?

Pada suatu hari aku mengikuti matahari
ketika di puncak tergelincir dia sempat
lewat seperempat kuadran turun ke barat
dan terdengar merdunya azan di pegunungan
dan aku pun melayangkan pandangan
mencari masjid itu ke kiri dan ke kanan
ketika seorang tak kukenal membawa sebuah gulungan
dia berkata :

“Inilah dia masjid yang dalam pencarian tuan”

dia menunjuk ke tanah ladang itu
dan di atas lahan pertanian dia bentangkan
secarik tikar pandan
kemudian dituntunnya aku ke sebuah pancuran
airnya bening dan dingin mengalir beraturan
tanpa kata dia berwudhu duluan
aku pun di bawah air itu menampungkan tangan
ketika kuusap mukaku, kali ketiga secara perlahan
hangat air terasa, bukan dingin kiranya
demikianlah air pancuran
bercampur dengan air mataku
yang bercucuran.



Jeddah, 30 Januari 1988
Taufiq Ismail