Ayah Membawaku Kepada Cinta
Sesosok lelaki yang memiliki jiwa pantang menyerah, tangguh, serta berkepedulian tinggi terhadap keluarga yang sangat tidak bisa dinalar oleh logika. Lelaki ini yang sekarang berumur 21 tahun sangat terobsesi menjadi seorang yang multitalent, tapi memang tak diragukan lagi bahwa anak yang biasa disapa dengan sebutan Tama ini memiliki bakat dalam beberapa hal seperti musik, olahraga dan juga termasuk mahasiswa yang berprestasi di Universitas Jember. Sekilas hidupnya terlihat sangatlah sempurna, tetapi lika-liku perjalanan hidupnya tak sesempurna yang di bayangkan. Tama memiliki cita-cita yang sangat tinggi, ia ingin menjadi seperti Ayah tercintanya.
“Ketika Aku beranjak dewasa nanti, Aku tak ingin menjadi yang seperti orang-orang impikan selama ini, Aku hanya ingin menjadi seperti Ayahku, sesorang lelaki yang kuat, bertanggung jawab dan peduli terhadap keluarganya, tak lupa Aku pun ingin memiliki kumis yang tebal seperti miliknya.” Ujar Tama ketika sedang bercermin di kamarnya.”
Tama memiliki orang tua yang sangat mencintainya tanpa batas, semua apa yang di inginkan oleh Tama semasa kecil terpenuhi pada saat itu. Dia memiliki Ibu yang berprofesi sebagai Kepala Sekolah di Taman Kanak-kanak yang berada di dekat rumahnya. Tak seperti yang ada di novel-novel atau cerita drama biasanya, meskipun Ibunya sangat sibuk dengan pekerjaan yang digelutinya, Ibunya tetap memperhatikan kedua anaknya yaitu Tama dan adiknya yang bernama Liza. Sesosok Ibu yang mungkin hanya ada seribu satu di dunia.
Dan Ayah Tama, beliau adalah orang yang mempunyai kumis tebal, mata dan hidungnya sama persis dengan Tama. Mereka berdua bisa dibilang bagaikan pinang dibelah dua, tak ada beda mungkin yang membedakan hanyalah usianya. Mereka berempat selalu menghabiskan waktu bersama ketika malam dan sore hari. Waktu mereka sedang bercengkrama di depan teras rumah, Tama melontarkan sebuah pertanyaan kepada Ayahnya.
“Ayah, apakah besok ketika Aku sudah besar, aku bisa mempunyai kumis yang seperti Ayah punya sekarang?” Tanya Tama.
“ Oh itu pasti Anakku, bahkan mungkin bisa lebih tebal dari yang Ayahmu punya ini.” Sahut Ayahnya sambil tertawa mendengar pertanyaan Anaknya tersebut.
“Sungguhkah Ayah? Ayah pasti berbohong, lantas kenapa Ayah menertawaiku? Apakah pertanyaanku ada yang salah?” Sahut Tama.
“Pertanyaanmu bukan hanya membuat Ayahmu tertawa Nak, tapi Ibu juga menahan tawa mendengar pertanyaanmu itu.” Tambah Ibunya.
“Iya Mas, kau ini masih kecil, tak mungkin Mas punya kumis seperti Ayah.” Jawab Adiknya sambil memeluk menghampiri Ayahnya.
“Sudahlah sudah, berhenti mengejek Masmu yang sangat tampan ini, bukan hanya kumis yang seperti Ayah punya ini yang engkau miliki, kelak setelah engkau dewasa kaulah yang akan memimpin Indonesia ini Nak.” Sahut Ayahnya sambil mengelus kepala Tama.
“ Benarkah itu Ayah?” Tanya Tama
“ Iya Nak, Belajarlah dengan rajin, gapai semua anganmu, teruslah bermimpi, dan jadilah manusia yang bermanfaat bagi sekitar Nak” Sambung Ayah sambil mengelus kepala Tama.
Ayah Tama bekerja sebagai Guru Pegawai Negeri yang juga berada tak jauh dari rumahnya. Keluarga Tama merupakan keluarga yang berekonomi menengah keatas. Tama juga memiliki Kakak perempuan yang biasa dia panggil Mbak Reny, Mbak Reny merupakan anak dari Ibunya dengan perkawinan sebelumnya. Tetapi meskipun Mbak Reny bukan anak kandung dari Ayah Tama, Ayah Tama menyayanginya seperti layaknya anak sendiri. Ayah Tama juga mempunyai dua anak dari perkawinan sebelumnya, mereka tinggal di luar kota. Biasanya mereka menemui ayahnya hanya setahun sekali.
Sungguh keluarga yang sangat sempurna dan berlimpah kasih sayang, dulu sewaktu masih duduk di bangku Sekolah Dasar kesehatan Tama sering terganggu, dia sering sakit-sakitan. Setiap Tama mengeluh kesakitan, pasti kedua orang tuanya langsung membawanya ke dokter. Ayahnya terutama, beliau tidak bisa melihat anak-anaknya kesakitan meskipun hanya sedikit.
Seiring berjalannya waktu, tak terasa Tama kini telah tumbuh dewasa, dia sekarang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama di salah satu SMP ternama di kotanya. Ayah Tama ahir-ahir ini terkena penyakit, sudah banyak berobat kemana-mana hingga keluar kota tapi tidak menemukan hasil. Waktu dirawat di sebuah kamar Rumah Sakit ternama, Ayah Tama menyuruh dia untuk menghubungi Mas Adit, Mas Adit adalah anak pertama Ayah Tama dari perkawinan sebelumnya.
“Tolong Nak, hubungi Mas Adit, Ayah ingin sekali bertemu dengannya.” Ujar Ayah Tama.
Setelah itu, Tama bergegas mengambil HPnya untuk menelfon Mas Adit. Keesokan harinya Mas Adit berencana untuk menemui Ayahnya. Tapi tak sampai di Rumah Sakit, Mas Adit mengalami kecelakaan hingga dia meninggal dunia. Tama mendengar hal itu, dia sungguh tak menyangka, air mata pun tak kuasa tertahan karena kehilangan Mas Adit.
“ Wahai Engkau pencipta segala sesuatu, Bagaimana caraku untuk memberitahukan kepada Ayahku tentang semua ini ya tuhanku? Bagaimana caraku untuk mengatakan bahwa Mas Adit telah mendahuluinya bertemu sang khalik? Tuhan…… beginikah rasanya mendapat cobaan yang Aku pun tak sanggup untuk menghadapinya.” Rintihnya ketika usai sholat di masjid Rumah Sakit dimana tempat Ayahnya dirawat.
Semua keluarga telah mengetahui kematian Mas Adit, kecuali Ayah Tama. Ayah Tama tak berhenti menanyakan dimana keberadaan Mas Adit.
“ Mas mu kemana Nak? Kenapa dia tak kunjung datang? Sungguh Ayah ingin bertemu dengannya? Apakah sudah kamu hubungi lagi Nak?” Tanya Ayah kepada Tama.
Tama tak sanggup lagi menutupi hal ini terhadap Ayahnya, dia merasa bersalah jika harus menutupi hal tersebut lebih lama. Sambil duduk dikursi menemani Ayahnya yang sedang terbaring, akhirnya Tama mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi.
“Ayah, kita semua sayang sama ayah, Mas Adit… Mas Adit telah berpulang Ayah.. Allah lebih sayang Mas Adit Ayah, itu alasannya kenapa Allah mengambil nyawa Mas Adit dulu Ayah. Mas adit kecelakaan ketika hendak pergi mengunjungi Ayah” Ujar Tama sambil meneteskah air mata.
Sentak Ayah kaget dengan kabar tersebut, dan kondisi Ayah pun langsung menurun drastis. Ayahnya seakan tak percaya dengan perkataan Tama. Beliau berkali kali menyangkal bahwa anaknya belum meninggal, beliau yakin bahwa Mas Adit akan menemuinya sebentar lagi. Semua orang yang ada di ruangan tersebut berlinang air mata.
“Kenapaaa? Kenapaa harus Mas Adit? Kenapa tidak Ayah saja?” ujar Ayah Tama dengan penuh dengan air mata.
“Sudahlah Mas, iklaskan semua yang sudah terjadi, Allah tidak akan menguji umatnya sesuai dengan kemampuanya Mas, sekarang Mas pikirkan dulu kesehatannya Mas, setelah Mas sembuh nanti kita sama-sama mengunjungi peristirahatan Adit yang terahir ya Mas, sabar Masss..” ujar Ibu Tama dengan air mata yang tak kunjung berhenti membasahi kedua pipinya.
Dengan beriring berjalannya waktu, Ayah Tama sudah bisa menerima atas kepergian Mas Adit, tetapi kondisi Ayah tak kunjung membaik. Hari demi hari kondisinya semakin menurun, segala upaya telah di lakukan. Dan pada ahirnya Ayah Tama meminta kepada Istrinya untuk dibawa pulang ke rumah.
“Sayang, sudikah kiranya engkau membawa rajamu ini pulang ke istananya? Aku begitu sangat merindukan kamar kita, bau yang khas dari rumah kita, bantal yang tiap hari menopang kepala kita dan semua yang berada dirumah kita sayang, sungguh aku tak bisa berada terus menerus ditempat yang banyak terdapat selang-selang, tabung, obat-obatan dan jarum yang terus menerus menusuki badanku, aku ingin istirahat santai di rumah kita dengan keluarga kita sayang.” Minta Ayah Tama kepada Istrinya.
“Mas, keadaan Mas masih belum pulih betul, dokter pun melarang Mas untuk pulang. Jika Mas memaksa pulang, dokter akan lepas tanggung jawab jika nantinya ada apa terhadap Mas, Aku tak bisa membiarkan hal itu terjadi kepadamu Suamiku.” Jawab Ibu Tama.
“Apakah engkau menyayangiku sesuai apa yang telah kau ucapkan 35 tahun lalu, ketika kita berjanji di depan wali dan tuhan kita wahai Istri dunia ahiratku? Apakah engkau senang bisa melihat suamimu bisa tersenyum? Aku tak meragukan jawabanmu, Aku pun tahu pasti, apa yang akan terlontar dari bibir manismu itu, Aku yakin engkau hanya akan menjawab “ IYA” jadi Aku mohon, bawalah Suamimu ini pulang bersamamu dan anak-anak kita Sayang, aku ingin berkumpul bersama di rumah kita yang indah.” Mohon Ayah Tama.
“Mas, tapi keadaanmu bagaimana? Sungguh Aku tak sanggup jika melihatmu seperti ini.” Sanggah ibu Tama sambil menangis tersedu-sedu.
“Sudah sudah sayang, hanyalah Aku yang tau kondisi badanku seperti apa, sungguh Aku sudah tidak apa apa, tenangkanlah dirimu dan usaplah air matamu, lebih baik kita lekas beres-beres dan segera pulang ke rumah kita” Ujar Ayah Tama sambil mengusap air mata yang jatuh menetes di pipi Istri tercintanya tersebut.
“Baiklah jika engkau memaksa, tapi kau harus berjanji, ketika kita pulang kau harus tersenyum, harus sembuh dari penyakitmu!” Seru Ibu Tama terpaksa.
“Beginilah ibumu Nak, tak pernah berubah dari dulu hingga sekarang. Sungguh kau Istri yang sangat cerewet, itu sebabnya Ayah jatuh hati kepada ibumu 35 tahun lalu hingga saat ini.” Ujar Ayah Tama terhadap Tama sambil tersenyum.
Setelah usai mengurusi pembayaran, Tama dan keluarganya membawa Ayahnya pulang kerumah mereka. Sesampainya di rumah Ayah Tama merasa sangat bahagia karena hampir 3 bulan tak pernah memasuki rumah yang sudah 35 tahun itu berdiri. Di suatu malam yang indah dengan cahaya bintang, Ibu Tama hendak memejamkan mata untuk beristirahat, tak lupa dia mencium kening Suaminya tercinta terlebih dahulu.
“Wahai Istriku, sungguh bahagia Aku bisa memilikimu Sayang, kau sosok Istri dan Ibu yang banyak di idamkan oleh kaum lelaki, hanyalah Aku lelaki beruntung yang bisa menikahimu hingga kita mempunyai Anak yang begitu menggemaskan, sama sepertimu.” Ujar Ayahnya manja
“Sudahlah Mas ini sudah malam, baiknya kau istirahat sayang, simpan dulu kata-kata manismu itu Sayang. (sambil menyelimuti Suaminya tersebut)” Jawabnya sambil tersenyum.
“Aku sangat mencintaimu Istri dunia ahiratku.” Sambung Ayah.
“Begitupun dengan Aku Sayang, tak bisa ku bayangkan jika harus berpisah dengan engkau.” Jawab Ibu sambil meneteskan air mata.
“Sungguh? Ah Aku tidak Percaya.” Ledek Ayah.
“Masss…. Bercanda terus ih.” Jawab Ibu.
“Sayang, bukankah engkau telah berjanji jika Aku pulang ke rumah, kita akan berziarah ke makam Adit?” Tanya Ayah.
“Wahai Suamiku, Aku tak lupa akan apa yang telah Aku janjikan kepadamu, besok kita akan pergi ziarah bersama sayang, anak-anak juga akan ikut bersama kita.” Jawab Ibu.
“Sungguh kau Istri yang sangat sempurna sayang.” Rayu Ayah.
“Berhentilah merayuku Mas, sudahlah ayo tidur, besok kita bangun pagi dan pergi ke makam Adit.” Jawab Ibu.
“Baiklah Ratuku” Sahut Ayah.
Keesokan harinya mereka berziarah ke makam Mas adit bersama, mereka melakukan perjalanan hampir 3 jam di dalam mobil, sesampainya di makam, Ayah pun turun dari mobil sambil duduk di kursi roda yang telah di dorong oleh Tama. Air mata membanjiri pemakaman Mas Adit. Setelah usai, merekapun kembali pulang.
Hari demi haripun berganti Ayah Tama tak kunjung sembuh, keadaan semakin memburuk, tetapi beliau tak mau dibawa ke rumah sakit untuk kesekian kalinya. Aktifitas masih berjalan seperti biasanya. Tama disibukan dengan sekolahnya begitupun dengan Liza adiknya yang sangat cantik.
Di pagi hari yang cerah, dengan semangat Tama berangkat ke sekolahnya dan tak lupa untuk berpamitan kepada Ayahnya tercinta. Sesampainya disekolah dia bertemu dengan teman-temannya sejenak melepas kesedihan yang ada di rumah. Pada saat jam pelajaran di kelas, Tama mendapat panggilan dari gurunya, dia dibawa oleh gurunya kesebuah tempat, tanpa memberi tahu sebelumnya. Tama sentak bingung, Tama berfikir bahwa dia akan diikutkan olimpiade seperti biasanya, karena dia merupakan anak yang sangat cerdas di sekolahnya.
Tetapi apa yang terlintas difikiran Tama tersebut hilang terbawa angin, Tama ternyata dibawa kesebuah rumah yang ternyata itu rumah Tama, Tama kaget, bingung, kenapa dirumahnya banyak sekali orang. Dan ternyata dia mengetahui bahwa Ayahnya telah meninggal. Dia langsung lari mengahampiri jasad Ayahnya yang hanya di tutupi oleh kain putih.
“Ayah… Ayah… Ayah bangunlah Ayahku…. Kenapa Ayah membohongi kita? Ayah bilang, Ayah mau sembuh ketika sudah pulang kerumah, tetapi kenapa Ayah malah meninggalkan kita Ayah? Ayah buka mata Ayah…. Ayah aku mohon Ayah buka mata Ayah….” Ujar Tama sambil menangis merangkul jasad Ayahnya.
“Sudahlah dek, Jangan menangis, ihklaskan Ayahmu biarkanlah Ayah kita tenang di surga bersama Allah dek.” Ujar Mbak reny yang merupakan anak Ibu Tama dari perkawinannya yang pertama.
Isap tangis membanjiri dikediaman Tama, semua keluarga, kerabat, saudara, dan teman-teman sekolah Tama ikut larut dalam keadaan tersebut. Ibu Tama pun sempat berkali kali tak sadarkan diri.
“Tuhan…… kenapa harus suamiku yang engkau ambil Tuhanku? Aku tak kuasa menjalani hidupku tanpanya wahai Tuhanku. Saya masih membutuhkan untuk mengurus kedua anak saya tuhann…” Ujar Ibunya sambil menangis tersedu-sedu.
Setelah jenazah Ayah Tama di makamkan, mulai dari situlah semua keadaan berubah tak seperti biasanya. Mereka hanya tinggal berempat (Tama, Ibu, Liza dan Mbak Reny). Beberapa tahun kemudian Mbak Reny pun menikah dan dikaruniai 3 anak mereka bernama Oca, Eping, dan Elo. Rumah mereka ramai dengan jeritan anak-anak yang merupakan cucu dari ibu Tama tersebut.
Semuanya telah berubah, Ibu Tama kini hanya sendiri membanting tulang untuk menyekolahkan kedua anaknya tersebut. Dan Tama pun kini telah dewasa, dia kini telah duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Sewajarnya anak SMA, kini dia telah mempunyai tambatan hatinya yang begitu sangat cantik, putih, rambut panjang bergelombang, dia biasa di panggil Zee.
Beberapa tahun Tama menjalin hubungan dengan Zee dan mereka harus berpisah dikarenakan jarak yang menghalangi, Tama kini telah berkuliah di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember dia masuk jalur undangan, karena memang tak bisa diragukan lagi Tama merupakan anak yang cerdas. Sedangkan Zee kekasihnya yang dia cintai beberapa tahun ini diterima di salah satu Universitas di Malang.
Satu tahun Tama tak bisa melupakan Zee, dan pada ahirnya dia menemukan wanita lain, yang tak lain adalah adik kelasnya sewaktu SMA, tetapi hubungan itu tak berjalan lama, Tama masih tak bisa lupa akan sosok Zee. Banyak cara yang dilakukan Tama untuk melupakan sesok wanita yang telah beberapa tahun bersamanya. Banyak cara yang Tama lakukan untuk bisa melupakan wanita yang mempunyai badan tak seberapa tinggi tersebut. Dia mengisi waktunya dengan bermusik, berorganisasi dan menjadi mahasiswa yang aktif di kelasnya.
Tama juga memiliki media social pribadi, disanalah Tama meluapkan semua tentang perasaannya, tentang keluarganya, tentang sosok Ayahnya yang telah meninggal meninggalkan Tama. Dan tak jarang juga Tama mengunggah video bermusiknya, mengeksplor semua yang dia bisa.
Hingga pada suatu saat ada sesorang wanita yang menyukai semua unggahan video Tama tersebut. Dia bernama Najwa yang merupakan wanita pencinta musik, yang juga berkuliah di Jember tetapi berbeda Universitas. Najwa merupakan mahasiswi dari Universitas Muhammadiyah Jember. Memang sudah tak diragukan lagi, Tama sangat mahir dalam bermusik. Berawal dari situlah kisah mereka terjalin.
Najwa merupakan wanita yang berkerudung, tidak begitu tinggi, mempunyai mata yang sangat minimalis dan berkacamata, banyak yang bilang kalau dia turunan cina, padahal sebenarnya asli made in Indonesia. Tama menilai, bahwa Najwa berbeda dengan wanita-wanita sebelumnya. Anehnya, wanita ini sampai sekarang masih suka makan permen acup-acups yang biasanya disukai oleh anak TK. Karena hal itu, Tama memanggilnya dengan sebutan acup-acups.
“Kenapa kau berbeda?” Tanya Tama.
“Aku berbeda? Kau fikir Aku monster sampai kau bialang Aku berbeda? Jawab Najwa sadis.
“Bukan gitu, sewot banget sih Neng, maksutku, kenapa kau masih suka permen acup-acups? Padahal kau sudah dewasa. Itu kan makanan anak bocah Najwa.” Jawab Tama.
“Emang dilarang ya Bang, buat anak seumurku makan permen acup-acups? Acup-acups ini enak tauu, coba deh kalo enggak percaya!” Sahut Najwa.
“Ya enggak sih, tapi aneh aja.” Jawab Tama.
“Tapi bukankah karena keanehanku ini kau mencintaiku dan bisa melupakan mantanmu?” Jawab Najwa berbangga hati.
“Uluh-uluh…. PD banget yaa Neng….” Jawab Tama sambil meledeknya.
“Fakta berkata begitu!” Jawab Najwa sewot.
“Iya deh iyaa, Aku mencintaimu sungguh mencintaimu tak akan ada yang lain wahai princess acup-acupsku.” Jawab Tama merayu kekasihnya itu.
Banyak perbedaan dari mereka berdua, seperti hobby, makanan, olahraga dan masih banyak perbedaan lainnya. Najwa sangat menyukai Pantai, tapi tidak untuk Tama. Tama juga hobby sekali meledek kekasihnya dan membuat kekasihnya jengkel terhadapnya.
“Aku cantik kan Tama?” Ujar Najwa.
“Siapa bilang? Coba sini lihat, menghadaplah kepadaku!” Suruh Tama.
Sambil menolehkan mukanya terhadap Tama dengan senyum manis di bibirnya dan menaik turunkan kelopak matanya yang indah yang tampak seperti boneka Barbie.
“Ini kau bilang cantik? Oh tuhan!” Jawab Tama meledek.
“Pernahkah sekali kau mengatakan bahwa kekasihmu ini cantik? Tidak pernah Tama, tak sesuai dengan kenyataan.” Jawab Najwa sambil memanyunkan bibirnya.
“Kau bukan sekedar cantik sayang tapi kau lebih dari indah, kau adalah anugerah terindah yang pernah Aku miliki.” Sahut Tama sambil menggoda kekasihnya.
Banyak hal yang sudah mereka lalui berdua, tak akan ada Tama jika tak ada Najwa begitupun sebaliknya, takan ada Najwa jika tak ada Tama. Terkadang tama merasa gelisah, dapatkah Najwa menerima dia dengan kekurangannya dan menerima jika Tama sudah kehilangan seorang Ayah tercintanya.
Di suatu sore di sebuah caffe, Tama menanyakan sesuatu terhadap kekasihnya tersebut.
“Cup-acups, ada yang ingin aku tanyakan terhadapmu.” Ujar Tama
“Apa sih kamu serius banget, jadi takut nih akunya (sambil menyedu kopiyang telah di pesanya).” Jawab Najwa mengejeknya.
“Apakah kau mencintaiku?” Tanya Tama.
“Pertanyaan yang sebenarnya tak perlu ku jawab, dan kau pun sudah pasti tau akan jawabanku.” Sahut Najwa.
“Jawablah pertanyaanku!” Bentak Tama.
“Widihhhhhh…. Kasar bener si bapak, santai dong sayangg. Aku begitu sangat mencintaimu wahai kekasihku (sambil meraih tangan Tama).” Jawab Najwa.
“Kenapa? Kenapa kau mencintaiku?” Sahutnya.
“Cintaku tak beralasan Sayang, bukan karena kamu ini lah itu lah, tapi memang sudah tertanam dihatiku sayang, ya ga bermaksut alay sih Tam, tapi emng kenyataan.” Jawab Najwa.
“Meskipun Aku tak mempunyai Ayah seperti kebanyakan anak lainnya?” Tanya Tama sambil meneteskan air mata.
“Tamaaa! Tutup mulutmu! Aku tak pernah mempermasalahkan akan hal itu! Aku menerimamu apa adanya, cintaku bukan hanya untukmu, tetapi semua keluargamu Sayang. Jadi aku mohon jangan pernah kau berfikaran begitu wahai kekasih terhebatku.” Jawab Najwa.
“Kau persis seperti Ibuku, sangat cerewet, dan itulah alasan kenapa Ayahku sangat mencintai Ibuku. Begitupun denganku wahai acup-acupsku, tak salah lagi aku memilihmu, kau terindah Sayang.” Ujar Tama.
“Sudahlah Tama, kamu jalani hidupmu tanpa Ayah, buat bangga Ibumu akan prestasimu dan pasti Ayahmu pun akan tersenyum melihatmu di surga sana Sayang. Gapai semua inginmu dan aku akan selalu di belakangmu, karena dalam kesusksesan seseorang lelaki, pasti ada wanita hebat di belakangnya.” Jawab Najwa.
“Uluh-uluh…. Sweet banget sih cinta.” Ledek Tama.
“Dasar Alay…..! sudahlah ayo pulang Sayang.” Ajak Najwa.
Dari situlah Tama semakin yakin bahwa Najwa adalah pilihan yang tak salah lagi. Mereka berdua bagaikan gitar, gitar tanpa senar tak akan menjadi nada-nada yang indah begitupun mereka. Doa mereka berdua, semoga Ayah Tama tersenyum melihat Anaknya bahagia dengan cintanya.